Minggu, 14 Oktober 2012
Organisasi profit
ORGANISASI PROFIT
Organisasi bisnis atau yang bisa juga disebut dengan organisasi profit (profit
oriented organization) adalah salah satu bentuk organisasi yang semakin
banyak menggunakan jasa humas dalam kegiatannya sehari-hari. Terlebih lagi
untuk perusahaan-perusahaan besar dengan jumlah karyawan ribuan atau
Perusahaan Multi Nasional yang memiliki sejumlah cabang di luar negeri,
perusahaan-perusahaan semacam itu sekarang ini semakin menyadari
pentingnya peran humas bagi organisasi.
Mengelola perusahaan bisnis di jaman yang semakin kompleks seperti
sekarang ini merupakan sebuah tantangan tersendiri. Seperti yang telah dibahas
di Modul 3, sebuah organisasi merupakan sebuah sistem yang kompleks dan
rumit dengan segala komponennya. Di jaman yang semakin moderen ini,
organisasi bisnis dituntut untuk bisa semakin luwes dalam menyikapi situasi
dan kondisi lingkungan sekitar organisasi yang semakin cepat berubah. Publik
organisasi bisnis juga semakin lama menjadi semakin kritis, semakin cerdas,
serta menuntut kinerja organisasi menjadi semakin profesional. Dalam kondisi
semacam ini, organisasi bisnis juga diharapkan semakin peka dengan berbagai
macam gejolak yang ada di masyarakat, karena untuk bisa bertahan
menghadapi persaingan dan perubahan yang terus menerus terjadi di sekitar
organisasi, organisasi bisnis mau tidak mau harus semakin bisa beradaptasi
serta menyesuaikan diri dengan segala kondisi tersebut.
Pada kegiatan belajar 2 ini akan dibahas mengenai berbagai tantangan yang
dihadapi oleh organisasi bisnis serta kegiatan-kegiatan humas di organisasi
bisnis.
Tantangan Organisasi Bisnis
Agar sebuah perusahaan bisa terus bertahan, salah satu kemampuan yang
mutlak dimiliki oleh organisasi adalah kemampuan untuk membaca situasi
yang sedang maupun akan terjadi yang akan berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup organisasi. Dengan kata lain, organisasi bisnis yang
beroperasi pada masa sekarang ini harus mulai memikirkan sebuah cara
bagaimana ia bisa meramalkan bukan saja situasi pasar, melainkan juga
perubahan-perubahan serta gejolak-gejolak lain yang terjadi di masyarakat,
serta memprediksi bagaimana perubahan tersebut akan berpengaruh pada
perusahaan.
Kemampuan untuk meramalkan atau memprediksi perubahan yang terjadi di
masyarakat merupakan sebuah kemampuan untuk memahami isyu atau trend
yang tengah menggejala. Selain itu perusahaan juga diharapkan semakin sensitif didalam menerapkan corporate social responsibility (tanggung jawab
sosial perusahaan) untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
1. Isu, Humas, dan Perusahaan
Dalam masyarakat yang terus berubah, manusia dituntut untuk mampu
beradaptasi serta membiasakan diri dengan perubahan yang terjadi. Para pakar
ilmu sosial menyatakan bahwa manusia yang hidup sejak abad 20 kedepan
adalah manusia yang paling banyak serta paling sering mengalami perubahan
sosial jika dibandingan dengan manusia yang hidup pada abad-abad
sebelumnya. Salah satu pemicunya adalah besarnya penemuan dibidang
teknologi yang dihasilkan manusia sejak Revolusi Industri. Sejak saat itu
manusia mengalami berbagai macam perubahan sosial yang signifikan dalam
hidupnya seperti urbanisasi, depresi ekonomi, dua perang dunia, revolusi sosial
seperti gerakan feminisme (kesetaraan jender) dan HAM, serta perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi yang semakin cepat.
Masing-masing perubahan sosial ini memunculkan isyu-isyu sosial serta trendtrend sosial yang harus diwaspadai. Menurut Grunig dan Hunt (1984) isyu
adalah, “Topics around which publics are formed.†. Sementara Heath
dan Nelson (1986) melihatnya sebagai, “A contestable question of fact,
value, or policy.†(dikutip dalam Grunig dan Repper, 1992). Heath (1997)
sendiri berpendapat bahwa isyu merupakan, “Dispute between parties based
on gaps in facts, values, or policies.†Dari pendapat yang berbeda-beda
tersebut nampaknya ada satu benang merah yang menghubungkan ketiganya
yaitu bahwa isyu yang dimaksud disini lebih dari sekedar rumor atau kabar
burung, melainkan lebih pada trend sosial yang tengah menggejala di
masyarakat.
Steve Mackey (2000) mengakui bahwa isyu sulit untuk didefinisikan karena
banyak hal bisa disebut sebagai isyu sosial. Ia menyatakan, “It has to do
with the subtle word of people’s ideas and attitudes. Ideas and attitudes
which sometimes develop slowly in a society over the years that they are hard
to notice until their effects bite, possibly in the form of new laws or government
regulations.†. Dari Mackey kita mendapatkan kata kunci ideas dan attitudes
atau ide-ide dan sikap manusia terhadap suatu hal. Heath dan Nelson
sebelumnya mengemukakan kata kunci values (nilai-nilai), facts (fakta), dan
policies (kebijakan) yang kesemuanya itu masih contestable (bisa
diperdebatkan lagi). Karenanya, mungkin bisa disimpulkan bahwa isyu sosial
berkenaan dengan sikap serta berbagai pemikiran yang tumbuh dan beredar di
masyarakat. Sikap dan pemikiran tersebut berkenaan dengan hal-hal yang
menyangkut nilai-nilai yang dipercaya masyarakat, fakta-fakta yang ada, atau
kebijakan-kebijakan yang akan atau tengah dianut di suatu masyarakat. Sebagai contoh misalnya saja isyu tentang HAM atau isyu tentang lingkungan
hidup yang semakin lama semakin dianggap penting oleh masyarakat. Isyu
tentang HAM yang telah lama beredar berimplikasi pada semakin ketatnya
peraturan-peraturan pemerintah tentang ketenagakerjaan, larangan untuk
memperkerjakan tenaga kerja dibawah umur, serta persyaratan yang harus
dipenuhi perusahaan akan fasilitas dan kondisi kerja yang memadai dan
manusiawi. Isyu tentang lingkungan hidup menyebabkan banyak elemen
masyarakat semakin ketat mengawasi kinerja berbagai perusahaan yang
ditengarai sebagai penyebab utama banyaknya kasus lingkungan yang
berkaitan dengan pencemaran, konservasi alam, dan kerusakan habitat alami
mahluk hidup.
Pada masa moderen ini perusahaan tidak bisa lagi bersikap kurang peka atau
tidak peduli pada isyu-isyu sosial. Dengan semakin kritisnya masyarakat,
organisasi-organisasi yang kurang menganggap penting isyu sosial yang tengah
beredar di masyarakat bisa mendapatkan konsekuensi yang amat pahit. Hal ini
bisa terjadi karena jika sebuah isyu telah mengkristal dan dianggap oleh
sebagian besar anggota masyarakat sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif
yang harus dipertahankan maka pemerintah biasanya akan menyikapi hal
tersebut dengan mengeluarkan peraturan atau perundang-undangan baru
tentang hal itu. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diteken dimasa pemerintahan
Megawati. Undang-undang tersebut muncul sebagai bentuk jawaban
Pemerintah akan isyu kesetaraan jender yang merebak di masyarakat Indonesia
akhir-akhir ini. Demikian pula Undang-undang Perlindungan terhadap Anak,
dan lain sebagainya, semua itu bermula dari isyu di masyarkat yang kemudian
mengkristal.
Mungkin dua contoh diatas kurang ada kaitannya dengan keberadaan
perusahaan. Kalau begitu coba kita lihat contoh yang lain. Beberapa waktu
yang lalu, surat kabar ramai memberitakan tentang kasus pencemaran
lingkungan di Teluk Buyat oleh PT. Newmont. Kasus Newmont tersebut
merupakan salah satu contoh ‘nasib’ yang harus dihadapi oleh
perusahaan yang kurang sensitif terhadap suatu isyu yang beredar di
masyarakat. Kita bisa melihat betapa besar harga yang harus dibayar. Bukan
saja dari aspek finansial, tapi yang lebih penting lagi citra dan reputasi
perusahaan bisa hancur di mata publiknya. Di negara-negara maju, salah satu
dampak yang harus ditanggung oleh perusahaan yang tidak menyikapi isyu
sosial secara tepat adalah merosotnya harga saham mereka di bursa efek.
Sekarang, apa kaitan antara isyu dan humas? Pada modul 1 telah kita bahas
sedikit bahwa salah satu fungsi humas bagi perusahaan adalah sebagai pencari
informasi. Pada Modul 3 istilah humas sebagai boundary spanner perusahaan telah kita perkenalkan. Dalam kaitannya dengan isyu, tugas humaslah untuk
mencari informasi, mengidentifikasi isyu-isyu yang beredar di masyarakat,
menyampaikannya kepada pihak manajemen, serta membuat perencanaan apa
yang harus dilakukan perusahaan dalam menghadapi isyu tersebut.
Dalam banyak literatur penanganan isyu secara profesional oleh perusahaan
kini disebut sebagai penerapan Management Isyu (Issues Management) yang
manfaatnya mulai banyak dirasakan. Menurut Grunig (1984) dan Heath (1997)
penanganan isyu bisa dibagi menjadi beberapa tahap yaitu:
a. Tahap 1: Issue Identification
Mengidentifikasi isyu-isyu apa saja yang tengah beredar di masyarakat. Baik
yang relevan maupun yang tampaknya tidak relevan dengan perusahaan.
b. Tahap 2: Issue analysis
Menganalisis isu berdasarkan urgensinya, isu-isu mana saja yang relevan
dengan perusahaan, serta memperkirakan dalam jangka waktu berapa lama isu
tersebut akan benar-benar berpengaruh terhadap perusahaan.
c. Tahap 3: Issue classification
Mengklasifikasi isu berdasarkan bentuk dan jenisnya. Misalnya yang mana isu
tentang lingkungan, yang mana isu tentang HAM, dan sebagainya.
d. Tahap 4: Issue prioritization
Membuat daftar prioritas isu, yang mana yang harus ditangani perusahaan
terlebih dulu, yang mana yang harus ditangani berikutnya, kapan harus
ditangani, dan sebagainya.
e. Tahap 5: Determine strategy options
Membuat beberapa alternatif pilihan penanganan isu. Pikirkan baik-baik
pilihan-pilihan tersebut dari berbagai aspek. Diskusikan dengan pihak
manajemen.
f. Tahap 6: Issue(s) Action Programs
Merencanakan dan melaksanakan penanganan isu yang telah dipilih pada tahap
lima.
g. Tahap 7: Issue management evaluationMengevaluasi langkah-langkah yang telah diambil. Bandingkan antara hasil
yang didapat dengan hasil yang diinginkan.
2. Humas dan Tanggungjawab sosial Organisasi
Tantangan lain yang harus dihadapi oleh perusahaan pada masa sekarang ini
adalah bagaimana menyeimbangkan antara mendapatkan keuntungan yang
besar dan menerapkan tanggung jawab sosialnya. Sebagai sebuah organisasi
bisnis yang jelas-jelas berorientasikan profit, banyak perusahaan menyikapi
isyu tentang tanggung jawab sosial ini dengan setengah hati. Mereka melihat
hal ini sebagai suatu hal yang membebani mereka serta menghalangi mereka
dalam upayanya untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Banyak
perusahaan juga menganggap isyu tanggung jawab sosial yang harus diemban
oleh perusahaan sebagai omong kosong belaka, sekedar retorika yang tidak ada
isinya. Lebih buruk lagi perusahaan melihat hal ini sebagai upaya pemerintah
untuk lebih menekan mereka atau sebagai hal yang akan merugikan usaha
mereka.
Isyu tentang Corporate Social Resposibility atau yang diindonesiakan menjadi
Tanggungjawab Sosial Perusahaan (selanjutnya akan disebut sebagai TSP) ini
sebenarnya bukanlah isyu yang baru bagi perusahaan-perusahaan di negaranegara maju. Hanya saja di Indonesia hal ini memang masih menjadi sesuatu
yang baru, setidaknya dari segi nama. Walaupun banyak perusahaan di
Indonesia yang mungkin masih belum familiar dengan konsep ini, tapi penulis
yakin bahwa telah banyak pula perusahaan nasional yang menerapkannya,
tanpa menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah bagian dari
penerapan tanggungjawab sosial perusahaan.
Konsep tentang TSP ini berawal dengan kajian organisasi sebagai sebuah
sistem. Seperti yang telah dibahas di Modul 3, sebagai sebuah sistem organisasi
tidak bisa tidak harus menjalin interaksi yang seimbang dan saling
menguntungkan dengan lingkungannya. Dengan kata lain organisasi dan
lingkungan yang ada di sekitarnya merupakan satu bentuk hubungan yang
saling tergantung, dalam beberapa hal lingkungan tergantung pada organisasi,
dan begitu pula sebaliknya, sebuah konsep yang oleh Preston dan Post (1975)
disebut sebagai interpenetrating system (dikutip dalam Grunig dan Hunt,
1984).
Menurut David C.H Johnston ada beberapa aspek yang menjadi tanggung
jawab sosial perusahaan karena kehadiran sebuah organisasi di sebuah
lingkungan tertentu: 1. Dampak Ekonomi. Lapangan pekerjaan baru yang tumbuh dengan hadirnya
perusahaan di tengah-tengah masyarakat
2. Kualitas Produk. Perusahaan berkewajiban memproduksi produk yang
berkualitas
3. Hubungan dengan Konsumen. Konsumen berhak atas produk yang
berkualitas, informasi yang jujur, serta harga yang pantas
4. Dampak Lingkungan Hidup. Perusahaan harus bertanggung jawab atas
adanya kemungkinan polusi (baik tanah, udara, dan air) sebagai akibat dari
hadirnya perusahaan di suatu lingkungan tertentu
5. Konservasi Energi. Perusahaan memiliki kewajiban untuk menghemat energi
yang dibutukannya untuk beroperasi
6. Hubungan dengan Karyawan. Tanggung jawab perusahaan terhadap
karyawan adalah (a) kesempatan mendapatkan pekerjaan yang sama bagi
semua orang, (b) kesempatan untuk mendapatkan kepuasan kerja selama
bekerja di perusahaan tersebut, dan (c) kesempatan untuk mendapatkan
jaminan keselamatan kerja
7. Hubungan dengan Komunitas. Perusahaan diwajibkan membantu perbaikan
kualitas hidup komunitas dimana organisasi tersebut berada (dikutip dalam
Grunig dan Hunt, 1984).
Daftar diatas adalah sebagian daftar ‘kewajiban’ organisasi terhadap
masyarakat. Humas sebagai pengantara antara organisasi dengan publiknya
harus senantiasa memastikan bahwa orgnisasi telah menjalankan kewajibankewajibannya tersebut. Humas harus bisa memberikan pengertian kepada
perusahaan bahwa mematuhi kewajiban-kewajiban tersebut tidak akan
berakibat negatif bagi perusahaan. Sebaliknya perusahaan harus melihat TSP
sebagai sebuah bentuk investasi sosial jangka panjang yang mungkin tidak bisa
dilihat hasilnya dalam waktu singkat, namun pasti akan memetik buahnya di
waktu-waktu yang akan datang. Buah yang bisa dipetik perusahaan dari hasil
menerapkan TSP antara lain adalah keloyalan konsumen terhadap produk
mereka, keloyalan karyawan dan karenanya mereka akan termotivasi untuk
juga menghasilkan yang terbaik untuk perusahaan, dukungan masyarakat
terhadap kehadiran perusahaan, serta tentu saja perusahaan akan mendapatkan
citra dan reputasi yang baik.
Peranan Humas dalam Bisnis Setelah kita membahas tentang berbagai tantangan dalam mengelola
perusahaan pada masa sekarang ini, pada segmen kedua ini kita akan
membahas peranan humas dalam organisasi bisnis. Peranan humas dalam
organisasi bisnis sebenarnya hanya merupakan praktik langsung apa yang telah
dikemukakan dalam Modul 4, yaitu menjalin hubungan serta membuat,
merencanakan, serta melaksanakan berbagai program untuk berbagai publik
(seperti hubungan dengan karyawan, komunitas, pemerintah, konsumen, dan
sebagainya) yang dimiliki oleh perusahaan, baik publik internal maupun
eksternal. Hanya saja disini kita akan membahas secara lebih detail peranan
humas dalam menjalin hubungan dengan investor (financial relations) serta
lobbying.
1. Humas dan Financial Relations
Menjalin hubungan dengan investor merupakan salah satu kegiatan humas
yang cukup penting. Selain investor atau penenm modal maka publik lain yang
tergolong sebagai Financial Relations adalah pemilik saham (shareholders).
Grunig dan Hunt (1984) bahkan mengidentifikasi empat publik lain yang
tergolong dalam Financial Relations yaitu: (a) current shareholders, (b)
prospective shareholders (kelompok-kelompok yang dianggap potensial untuk
menjadi pemegang saham di kemudian hari), (c) the financial community
seperti bankir, para pialang saham, penasehat investasi, perusahaan asuransi,
dan sebagainya, serta (d) financial media. Publik-publik ini termasuk dalam
kategori publik yang menurut Grunig dan Hunt (1984) adalah “...active and
information seeking.†. Karena publik-publik tersebut memiliki kepentingan
dari segi finansial, maka mereka tergolong sebagai tipe publik yang selalu aktif
mengamati segala kegiatan perusahaan serta selalu ingin mendapatkan
informasi yang terkini tentang kondisi dan kinerja perusahaan. Dalam hal ini
tugas Humas lah untuk selalu mensuplai mereka dengan informasi-informasi
penting yang mereka butuhkan.
Beberapa cara untuk menjalin hubungan dengan para investor dan pemegang
saham yang disampaikan oleh Harris (2000) adalah:
a. Annual Reports (Laporan tahunan)
Laporan tahunan adalah sebuah bentuk laporan keuangan yang memuat segala
transaksi keuangan dalam setahun. Laporan keuangan semacam ini memang
dibuat untuk dipublikasikan kepada masyarakat luas serta dikirimkan kepada
publik-publik tertentu.
Selain berisikan laporan keuangan perusahaan, laporan tahunan biasanya juga
memuat segala kegiatan perusahaan yang lain selama satu tahun penuh. Karena berisi begitu banyak informasi yang tidak saja berkaitan dengan kondisi
finansial perusahaan, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan
perusahaan hendaknya ditulis tetap dengan mengacu pada prinsip-prinsip
jurnalistik pada umumnya.
Dengan begitu bervariasinya publik yang berkepentingan terhadap informasi
yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan, maka biasanya perusahaan
akan menerbitkan laporan keuangan dengan memodifikasi beberapa isinya
disesuaikan dengan publik yang dituju. Laporan Tahunan untuk karyawan
misalnya, meski masih menyajikan kinerja keuangan perusahaan tapi informasi
tersebut tampil dengan lebih singkat dan sederhana, sementara informasi
tentang kegiata-kegiatan tahunan perusahaan diperbanyak. Lain lagi laporan
tahunan yang diperuntukkan bagi para pialang saham misalnya, maka
informasi yang disajikan akan lebih berfokus pada laporan keuangannya,
dengan menyajikan informasi yang sedetail mungkin.
b. Annual General Meeting
Annual General Meeting adalah pertemuan tahunan para pemegang saham.
Pada pertemuan semacam ini para pemegang saham berkesempatan untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pihak manajemen sehubungan
dengan kinerja perusahaan. Selain itu pada kesempatan ini mereka biasanya
juga akan mengevaluasi peraturan-peraturan yang pada saat ini diterapkan di
perusahaan serta membuat perubahan jika diperlukan.
Walaupun pertemuan semacam ini biasanya hanya dianggap sebagai formalitas
belaka, namun ada saat-saat tertentu dimana perusahaan dituntut untuk mampu
berkomunikasi dengan baik dengan para pemegang saham. Anjloknya harga
saham perusahaan misalnya, merupakan saat-saat sulit bagi perusahaan untuk
bisa menjelaskan kondisi yang dihadapi kepada para pemegang saham. Pada
saat semacam ini Humas diharapkan mendampingi pihak manajemen
memberikan penjelasan kepada pemegang saham.
2. Humas dan Lobbying
Jika kita mendengar kata lobbying, maka biasanya yang tergambar di benak
kita adalah sebuah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh para politikus.
Kegiatan melobi kita anggap hanya merupakan kewenangan mereka yang
berkecimpung di dunia politik saja seperti orang-orang partai atau pemerintah.
Moloney (1997) mendefinisikan lobbying sebagai, “...persuasive activity to
change public policy in favour of an organization by groups of people who are
not directly involved in a political process.†(dikutip dalam Harris, 2000). Lebih lanjut ia menyatakan kegiatan lobbying meliputi, “...monitoring
public policy making for a group interest; building a case in favour of that
interest; and putting it privately with varying degrees of pressures to public
decision makers for their acceptance and support through favourable political
intervention.â€
Dari definisi yang dikemukakan Moloney tersebut kita bisa melihat
relevansinya dengan kajian kehumasan yang tengah kita lakukan ini. Sebuah
perusahaan yang ingin bertahan di masyarakat, seperti yang sudah dibahas
sbelumnya, harus mewaspadai berbagai isyu yang berkaitan dengan kehidupan
perusahaan. Ketika isyu sudah mengkristal, biasanya hal itu akan berimplikasi
pada pembuatan kebijakan publik yang relevan dengan isyu yang dimaksud.
Hal inilah yang bisa dinegosiasikan perusahaan dengan kegiatan lobbying.
Dengan lobbying perusahaan berupaya untuk menyampaikan kepentingankepentingan mereka sehubungan dengan akan diberlakukannya sebuah
peraturan baru atau perundang-undangan.
Sebagai contohnya adalah semakin merebaknya isyu akan diperluasnya daerah
bebas rokok di tempat-tempat umum di Indonesia. Entah karena masyarakat
Indonesia semakin sadar hidup sehat atau karena tekanan internasional, yang
jelas isyu semacam itu jelas akan berpengaruh terhadap kehidupan banyak
pabrik rokok di Indonesia. Jika isyu tersebut nantinya akan direalisasikan
dalam bentuk kebijakan publik maka sudah pasti perusahaan rokok lah yang
menempati posisi yang kurang menguntungkan. Dengan kegiatan melobi yang
baik, perusahaan rokok bisa menegosiasikan posisi serta kepentingannya dalam
pembentukan kebijakan publik semacam itu.
Dimanakah kedudukan humas disini? Apakah melakukan lobbying juga
termasuk salah satu tugas humas? Bisa ya, bisa tidak. Sebagai fungsi pencari
informasi bagi perusahaan, tugas humas adalah mensuplai pihak manajemen
dengan informasi-informasi dari dalam dan luar perusahaan yang akan
mempengaruhi kehidupan perusahaan, termasuk tugas Manajemen Isyu yang
juga telah kita bicarakan. Dalam kaitannya dengan lobbying bisa saja humas
tidak perlu menjalankan tugas itu secara langsung karena di negara-negara
maju perusahaan bahkan bisa menyewa jasa professional lobbyist atau pelobi
profesional. Disini humas bertugas untuk menjelaskan posisi dan kepentingankepentingan yang dimiliki perusahaan kepada pelobi profesional atau kepada
‘orang dalam’ perusahaan yang bisa melakukan tugas itu.
Kegiatan melobi memerlukan data ‘contact person’ dan orang
berpengaruh di berbagai bidang yang cukup lengkap serta harus selalu
diperbarui dari waktu ke waktu. Mereka juga harus bisa ‘membaca’ trend
sosial yang tengah menggejala, koalisi-koalisi yang terbentuk di masyarakat, serta momen-momen penting dimana kebijakan publik tengah dibahas atau
diproses.
Sebagai sebuah profesi, pelobi profesional memiliki beberapa area spesialisasi
seperti pelobi khusus bidang perdagangan atau lingkungan hidup. Pada
awalnya profesi pelobi banyak berasal dari para wartawan senior yang telah
pensiun. Namun sekarang, para pelobi profesional banyak yang berasal dari
lulusan ilmu komunikasi. Dan sebagai orang yang paham ilmu komunikasi,
pelobi profesional juga banyak memanfaatkan opini publik untuk
memperjuangkan kepentingan klienn
Langganan:
Postingan (Atom)